Once again, from another thread that I found from my online community made me desperately want to share my thought.
Alkisah
pada jaman dahulu kala (meniru gaya ipin upin yang sering ditiruin Alex
ama Lesha :p) ada seorang wanita hebat yang memulai perjalanan hidupnya
dengan kecerdasan, kreatifitas, kerja keras dan keuletan sehingga
mengantarkannya menjadi seseorang yang sukses dan berhasil
memperkerjakan puluhan orang. Omzet yang semula hanya ratusan ribu
rupiah melambung menjadi milliaran rupiah. Namun, setelah beberapa saat,
usahanya mulai mengalami masalah, pegawainya menyusut drastis seiring
dengan omzet yang merosot tajam. 8 outlet di banyak kota akhirnya gulung
tikar dan hanya menyisakan sepetak outlet yang kecil. Yang biasanya
menerima ratusan juta rupiah per bulan, tiba-tiba digit nol nya
menggelinding dan juga masih terbebani oleh hutang.
Kalo itu terjadi pada anda, apa yang anda lakukan?
Terus
terang, kalo itu aku, pasti aku udah sutris nganggur, ngomel ga karuan,
bahkan mungkin ngutuk ga jelas, nangis ampe mbendul..hehehe...
Tapi
yang hebatnya dari Teh Dewi, bisa bangkit dari kondisi itu, dengan
omzet yang kalah jauh dari "masa keemasannya" beliau bisa menutup hutang
puluhan juta rupiah. Dan yang aku sangat salut, beliau masih bisa tetep
"waras" selama proses itu :D Semoga tambah sukses ya Teh Dewi, bangkit
lagi menuju puncak yang lebih tinggi :)
Sepenggal kisah
diatas, mengingatkanku kembali bahwa hidup bagaikan roller coaster.
Ketika semuanya berasa sangat berat dan sulit, mungkin itu adalah
saat-saat menuju puncak kesuksesan, seperti halnya roller coaster yang
sedang menanjak menuju puncak. Pertanyaannya kemudian, apakah kita akan
menyerah di tanjakan itu ato melanjutkan perjalanan? hmmmm...
Kemudian
ketika semua serasa sangat mudah dan menyenangkan, mungkin adalah
masa-masa harus waspada ibarat roller coaster yang sudah dipuncak dan
mulai perjalanannya ke bawah.
"Ga mau ah ke bawah...mo tetep di
puncak aja" itu mungkin respon yang wajar (responku aja kayak gitu
hehehe :p) tapi kalo stagnan disitu maka perjalannya ga akan lanjut, ga
akan tau kekuatan diri sendiri, mampu ga sampai puncak yang lebih dan
lebih lagi :D
Ketika roller coaster hidup sedang
meluncur tajam, idealnya berpikir untuk kembali ke puncak, tetapi sangat
manusiawi (pembenaran diri sendiri benernya :p) untuk merasa takut,
untuk merasa down. Ibaratnya ketika kita naik roller coaster dan sedang
turun, apakah kita akan kena serangan jantung yang anfal ato siap untuk
mendaki lagi..
Sikap kita ketika menikmati roller
coaster hidup juga akan memberikan makna di kemudian hari. Apakah kita
menikmati setiap detik prosesnya ato memilih mengejar bayangan masa
depan ato bahkan menutup mata karena bayangan masa lalu dan ketakutan
pribadi. Sekali lagi ibarat naik roller coaster : apakah ketika naik
roller coaster, kita juga sambil menikmati setiap momennya dan juga
pemandangan yang bisa terlihat dari puncak tanjakan? Ataukah terlalu
sibuk memikirkan tanjakan dan turunan selanjutnya sehingga tidak melihat
keindahan yang bisa dilihat dari puncak, tidak merasakan hembusan angin
yang menerpa ketika terjun? Ato yang terburuk, kita menutup mata dan
indera selama seluruh perjalanan itu?
Aku dan partnerku
sering saling mengingatkan bagaimana dulu susahnya kami memulai usaha
kami, juga masa-masa suram yang sempat bikin kami ingin membubarkan PT
ini, masa-masa dimana sepertinya gali lobang tutup lobang ga henti, dan
juga masa-masa puncak-puncak kecil yang berkesan seperti bisa naik
pesawat pertama kali gara-gara "RUPS non resmi" pertama kali (ini aku
sih mas :p), saat bisa numpang tidur di penthouse bintang 4 gratis (yang
gara-gara training di Novotel Sby tuh.. :D), bisa mengajak
pegawai-pegawai kami yang mungkin sebelumnya cuman bisa liat pesawat di
TV akhirnya bisa terbang beneran ke SG hehehe... Puji Tuhan..
Hidup
itu sendiri adalah anugerah..Jadi mari kita saling support, saling
berbagi, saling mengingatkan...Ibarat naik roller coaster tentu tidak
akan mengasyikkan ketika kita menjalaninya sendiri :)
Courtesy : Teh Dewi Veronica & IIDB
Thursday, September 12, 2013
School vs Homeschooling vs Ga sekolah
Membaca salah satu tread di komunitas yang ku ikutin tentang seorang siswa yang sudah berhasil berwirausaha walaupun usianya masih belia. Lalu muncullah berbagai macam komen, ada yang menyuruh berhenti aja sekolahnya dan fokus di usaha, ada yang nyuruh homeschooling, ada yang berpendapat sekolah formal itu perlu.
Kalo dilihat, akhir-akhir ini fenomena homeschooling semakin banyak di masyarakat, yang sebagian besar alasannya karen kesibukan si anak yang membuatnya tidak bisa mengikuti jadwal sekolah formal atau karena orangtua kuatir dengan pergaulan di sekolah umum sehingga lebih memilih kondisi pergaulan yang "terjaga". Ada juga yang ingin lebih memaksimalkan bakat anaknya (misal di musik atau seni) sehingga beranggapan bahwa sekolah formal dengan banyaknya mapel bukanlah yang terbaik. Alasan terahkir biasanya karena anaknya memiliki kebutuhan khusus yang tidak bisa terfasilitasi oleh sekoah formal, dan memang harus diakui, di Indonesia masih minim sekali sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Akhir-akhir ini, banyak juga pendapat yang menyatakan bahwa sekolah hanya buang-buang waktu, tenaga dan uang karena toh banyak orang yang bisa sukses walau mereka tidak sekolah..banyak orang yang bisa kaya walaupun mereka dropout dari sekolah. Bahkan ada kelompok ekstrimis yang mengganggap sekolah adalah sarana pembodohan masal yang mematikan kreatifitas seseorang dan membentuk jiwa-jiwa menjadi satu streotipe, satu pola pikir yang dikontrol oleh pemerintah.
Anda termasuk yang mana? :D
Menurut aku pribadi, sekolah masih merupakan sebuah sarana yang sangat penting. Melalui sekolah, seorang anak akan belajar untuk bersosialisasi, membangun networking (jika aku/partnerku tidak sekolah (kuliah) maka mungkin tidak akan ada Phitagoras), membangun karakter, membangun pola pikir, ketekunan, dll.
Ah..semuanya itu juga bisa didapat kok tanpa ke sekolah..sosialisasi juga bisa tanpa harus disekolah..networking juga bisa walo ga sekolah.. Mungkin ada yang beranggapan begitu dan betul juga, tetapi sosialisasi seperti apa dan networking dengan "siapa" yang terus menjadi pertanyaan. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk merasa dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya, sehingga sekolah yang saat ini massih sebagai wadah pembelajaran formal menjadi tempat yang bagus untuk membangun "persamaan-persamaan" pengalaman/memori/kegiatan, dll.
Pernah tidak anda alami, ketika anda bertemu dengan seseorang yang baru, kemudian setelah bercakap-cakap dan ketika mengetahui bahwa orang tersebut satu almamater (walo mungkin beda generas) ato satu kota ato kenal orang yang sama, maka anda merasa menjadi lebih "dekat" dengannya..lebih nyambung lah istilahnya. Iya ga? :)
Keteknunan, persistent dll mungkin memang bisa diperoleh tidak di sekolah tapi biasanya dikarenakan suatu kondisi ekstrim dlm hidup (seperti Dahlan Iskan dengan kemiskinannya dulu, Merry Riana dengan pecahnya reformasi) tapi sekolah juga bisa menjadi satu stimulus untuk hal hal tersebut. Dengan adanya deadine mengajarkan akan ketepatan waktu dan tanggung jawab. Selain itu dalam suasana terkontrol sperti sekolah aka mengajarkan untuk lebih patuh akan aturan (yang sejujurnya mungkin akan sulit ditetapkan di homeschooling)
Dulu, awal menjadi seorang guru, aku benar-benar idealis dan menetapkan standar unuk mapelku. Kuberusaha dan kumenuntut agar semua siswa bisa mengikuti standartku (padahal awal dulu ngajar mapel yang merupakan momok bagi banyak orang..hehehe..coba tebak apa? :P). Seiring dengan berjalannya waktu, kuingin anak-anak belajar "lebih" diluar mapelku. Score bukan lagi nilai mutlak sebagaimana aku dulu menganggapnya (eh tapi bukan berarti aku manipulasi nilai anak-anak ya..nehi nehi..amit-amit..), maksudnya jika dulu ada seorang anak failed, aku akan menuntut dia untuk mengulang kembali, they must fulfill MY standart. Semakin kesini, aku menghargai hal-hal lain selain score, seperti kegigihan seorang anak, kejujuran pekerjaannya, semangatnya untuk belajar,dll. Aku mengajar mapel yang pasti bagaikan hitam dan putih..yang mana jika anak-anak berhasil maka mereka layak dapat label pintar & cerdas, sementara yang tidak berhasil....... :) Dulu, ngerasa bangga juga karena mapelku termasuk mapel yang "ditakuti" sekaligus "didewakan" bagi siswa dan ortunya, standart kecerdasan seseorang (hehehe..GR yo :p) Sekarang, kubelajar bahwa banyak tipe kecerdasan dan semuanya adalah setara. Hal ini juga mungkin efek dari menjadi orangtua bagi anak-anakku sendiri, sedari kecil kulihat perkembangan anak-anakku bagaimana mereka bertumbuh dan memiliki kelebihan yang berbeda. Terus terang ketika kelas 1 kemarin Alex, anak pertamaku, mendapatkan award "Showing a consistent effort" itu lebih berharga daripada jika ia mendapat award "Academic Excellent Achievement" karena menandakan ajaranku dan papanya untuk persistent, terus berusaha dan tidak pernah menyerah ternyata dilakukan oleh Alex di sekolah. Kesuksesan dan kecerdasan tidaklah mutlak ditentukan oleh score nilai. It's no longer matter of "what is the score" but "how you score". yang penting bukan berapa nilainya, tapi bagaimana bisa dapat nilai itu. Terus terang aku juga miris ketika ada yang sampe bunuh diri waktu ga lulus UNAS atau ga naik kelas, itu semua karena "terlalu mengagungkan" sekolah sebagai standar kesuksesan hidup sih..
Sekolah sangat penting tetapi bukanlah mutlak menjadi satu-satunya tempat untuk belajar. Beberapa tahun terahkir ini, kubanyak belajar dari banyak orang dengan cara yang mungkin tak ada 15 tahun lalu..Ku belajar melalui sharing dengan partnerku, diskusi dengan suamiku..Ku belajar melalui twit dan blog orang lain..Ku belajar melalui banyak teman-teman di berbagai komunitas. Namun aku juga masih ingin melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, melanjutkan S2 (semoga bisa secepatnya) dan S3 nantinya adalah suatu tantangan tersendiri :p
Yach itu sedikit pendapatku... :)
Jadi anda memutuskan untuk bersekolah, tidak sekolah ato home schooling? :)
Kalo dilihat, akhir-akhir ini fenomena homeschooling semakin banyak di masyarakat, yang sebagian besar alasannya karen kesibukan si anak yang membuatnya tidak bisa mengikuti jadwal sekolah formal atau karena orangtua kuatir dengan pergaulan di sekolah umum sehingga lebih memilih kondisi pergaulan yang "terjaga". Ada juga yang ingin lebih memaksimalkan bakat anaknya (misal di musik atau seni) sehingga beranggapan bahwa sekolah formal dengan banyaknya mapel bukanlah yang terbaik. Alasan terahkir biasanya karena anaknya memiliki kebutuhan khusus yang tidak bisa terfasilitasi oleh sekoah formal, dan memang harus diakui, di Indonesia masih minim sekali sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Akhir-akhir ini, banyak juga pendapat yang menyatakan bahwa sekolah hanya buang-buang waktu, tenaga dan uang karena toh banyak orang yang bisa sukses walau mereka tidak sekolah..banyak orang yang bisa kaya walaupun mereka dropout dari sekolah. Bahkan ada kelompok ekstrimis yang mengganggap sekolah adalah sarana pembodohan masal yang mematikan kreatifitas seseorang dan membentuk jiwa-jiwa menjadi satu streotipe, satu pola pikir yang dikontrol oleh pemerintah.
Anda termasuk yang mana? :D
Menurut aku pribadi, sekolah masih merupakan sebuah sarana yang sangat penting. Melalui sekolah, seorang anak akan belajar untuk bersosialisasi, membangun networking (jika aku/partnerku tidak sekolah (kuliah) maka mungkin tidak akan ada Phitagoras), membangun karakter, membangun pola pikir, ketekunan, dll.
Ah..semuanya itu juga bisa didapat kok tanpa ke sekolah..sosialisasi juga bisa tanpa harus disekolah..networking juga bisa walo ga sekolah.. Mungkin ada yang beranggapan begitu dan betul juga, tetapi sosialisasi seperti apa dan networking dengan "siapa" yang terus menjadi pertanyaan. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk merasa dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya, sehingga sekolah yang saat ini massih sebagai wadah pembelajaran formal menjadi tempat yang bagus untuk membangun "persamaan-persamaan" pengalaman/memori/kegiatan, dll.
Pernah tidak anda alami, ketika anda bertemu dengan seseorang yang baru, kemudian setelah bercakap-cakap dan ketika mengetahui bahwa orang tersebut satu almamater (walo mungkin beda generas) ato satu kota ato kenal orang yang sama, maka anda merasa menjadi lebih "dekat" dengannya..lebih nyambung lah istilahnya. Iya ga? :)
Keteknunan, persistent dll mungkin memang bisa diperoleh tidak di sekolah tapi biasanya dikarenakan suatu kondisi ekstrim dlm hidup (seperti Dahlan Iskan dengan kemiskinannya dulu, Merry Riana dengan pecahnya reformasi) tapi sekolah juga bisa menjadi satu stimulus untuk hal hal tersebut. Dengan adanya deadine mengajarkan akan ketepatan waktu dan tanggung jawab. Selain itu dalam suasana terkontrol sperti sekolah aka mengajarkan untuk lebih patuh akan aturan (yang sejujurnya mungkin akan sulit ditetapkan di homeschooling)
Dulu, awal menjadi seorang guru, aku benar-benar idealis dan menetapkan standar unuk mapelku. Kuberusaha dan kumenuntut agar semua siswa bisa mengikuti standartku (padahal awal dulu ngajar mapel yang merupakan momok bagi banyak orang..hehehe..coba tebak apa? :P). Seiring dengan berjalannya waktu, kuingin anak-anak belajar "lebih" diluar mapelku. Score bukan lagi nilai mutlak sebagaimana aku dulu menganggapnya (eh tapi bukan berarti aku manipulasi nilai anak-anak ya..nehi nehi..amit-amit..), maksudnya jika dulu ada seorang anak failed, aku akan menuntut dia untuk mengulang kembali, they must fulfill MY standart. Semakin kesini, aku menghargai hal-hal lain selain score, seperti kegigihan seorang anak, kejujuran pekerjaannya, semangatnya untuk belajar,dll. Aku mengajar mapel yang pasti bagaikan hitam dan putih..yang mana jika anak-anak berhasil maka mereka layak dapat label pintar & cerdas, sementara yang tidak berhasil....... :) Dulu, ngerasa bangga juga karena mapelku termasuk mapel yang "ditakuti" sekaligus "didewakan" bagi siswa dan ortunya, standart kecerdasan seseorang (hehehe..GR yo :p) Sekarang, kubelajar bahwa banyak tipe kecerdasan dan semuanya adalah setara. Hal ini juga mungkin efek dari menjadi orangtua bagi anak-anakku sendiri, sedari kecil kulihat perkembangan anak-anakku bagaimana mereka bertumbuh dan memiliki kelebihan yang berbeda. Terus terang ketika kelas 1 kemarin Alex, anak pertamaku, mendapatkan award "Showing a consistent effort" itu lebih berharga daripada jika ia mendapat award "Academic Excellent Achievement" karena menandakan ajaranku dan papanya untuk persistent, terus berusaha dan tidak pernah menyerah ternyata dilakukan oleh Alex di sekolah. Kesuksesan dan kecerdasan tidaklah mutlak ditentukan oleh score nilai. It's no longer matter of "what is the score" but "how you score". yang penting bukan berapa nilainya, tapi bagaimana bisa dapat nilai itu. Terus terang aku juga miris ketika ada yang sampe bunuh diri waktu ga lulus UNAS atau ga naik kelas, itu semua karena "terlalu mengagungkan" sekolah sebagai standar kesuksesan hidup sih..
Sekolah sangat penting tetapi bukanlah mutlak menjadi satu-satunya tempat untuk belajar. Beberapa tahun terahkir ini, kubanyak belajar dari banyak orang dengan cara yang mungkin tak ada 15 tahun lalu..Ku belajar melalui sharing dengan partnerku, diskusi dengan suamiku..Ku belajar melalui twit dan blog orang lain..Ku belajar melalui banyak teman-teman di berbagai komunitas. Namun aku juga masih ingin melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, melanjutkan S2 (semoga bisa secepatnya) dan S3 nantinya adalah suatu tantangan tersendiri :p
Yach itu sedikit pendapatku... :)
Jadi anda memutuskan untuk bersekolah, tidak sekolah ato home schooling? :)
Subscribe to:
Posts (Atom)